
Dibekali ilmu agama yang cukup intensif di sebuah sekolah swasta sebentuk pesantren selama 12 tahun full aku habiskan di sana. Berabagai sindiran pun dilontarkan oleh teman-teman sekampungku tentang betahnya saya ngenyam pendidikan selama 12 tahun di satu sekolah saja. Biar, tak perlu saya tanggapi dengan serius tentang masalah itu, karena yang lebih serius adalah frekuensi ketangguhanku dalam memaksimalkan kesempatan untuk belajar dan terus belajar yang telah ada tersedia.
Dapat saya kritisi pula bahwa betapa mirisnya ketika kita mendengar dan melihat sebuah realita tentang seseorang yang membanggakan dan terlalu mempermasalahkan hal sepele semacam itu, padahal sebenarnya apa yang telah ia dapatkan dari kebanggaannya itu hanyalah sebuah kenihilan belaka. Karena, orang itu terlalu sibuk mencari teman baru atau bahkan katakanlah pacar baru dibanding dengan mempersiapkan diri untuk menerima ilmu baru.
Kembali ke topik awal. Satu bulan selepas masa akademisiku berlalu dari pesantren yang tak akan pernah saya lupakan, tepatnya 3 hari setelah hari raya Idul Fitri seorang teman yang seangkatan denganku sedang berbenah diri mempersiapkan berkas-berkas dan perlengkapan kuliah. Saat kubertanya kemana dia hendak kuliah, diapun menjawabnya mau ke Surabaya. Sejenak ku berpikir tentang jawabannya itu, dia mau kuliah ke Surabaya, Surabaya itu yang belum pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya. Kota yang jaraknya (kalo gak salah, benar) sekitar 600 km dari kota kelahiran saya, belum sekalipun saya menginjakkan kaki di atasnya. Selanjutnya saya tanyakan kepada temanku tentang program unggulan yang ada di kampus tujuannya itu, dia pun menjawab bahwa intinya di sana itu dia akan belajar bahasa arab dan bahasa inggris serta disiplin ilmu lainnya. Spontan aku pun langsung tertarik, aku sangat berminat sekali kalau sudah ada bahasa inggris dan bahasa arab.
2 hari kemudian saya pun berangkat ke Surabaya, sebuah kota metropolitan yang tak pernah kubayangkan sebelumnya akan hidup di sana, apalagi bagi orang awam seperti saya, dengan jarak yang sejauh itu dari kampung halamanku belum pernah saya tempuh. Jangankan jarak antar provinsi semacam ini, jarak antar kota pun jarang sekali saya lakukan. Intinya, saya hampir tidak pernah keluar dari rumah jauh-jauh.
Tapi, untuk kali ini orientasinya jelas. Perjalanan sejauh ini bukanlah sekadar saya menimba ilmu, namun dibalik itu nilai hijrah yang terkandung di dalamnya sangatlah kentara. Inilah saatnya kedewasaanku diuji, kota metropolis yang dikenal cukup glamor itu menanti saya, dengan berbagai macam kerlipan yang menyilaukan siap mengitari, membiaskan orientasi yang dulu pernah dibangun ketika masih di kampung halaman, menjerumuskan jiwa ke dalam derasnya arus kesesatan. Tekad dan iman sungguh dipertaruhkan.
Hijrah ini tidaklah mudah tuk direalisasikan tanpa kehadirannya Allah swt. yang selalu ada untuk menjaga ketika iman masih tertancap dalam dada di manapun kita berada. Insya Allah.