Pijakan Jejak..

Sunday, November 14, 2010

Home » , » Landasan Ilmiah Ilmu Dakwah 2
Comment

Landasan Ilmiah Ilmu Dakwah

Kajian Ontologis

         1. Obyek Kajian Ilmu Dakwah
Obyek ilmu dakwah terbagi kepada dua bagian: Obyek material ilmu dakwah dan obyek forma ilmu dakwah.
Menurut Cik Hasan Bisri, obyek material ilmu dakwah adalah unsur substansial ilmu dakwah yang terdiri dari enam komponen, yaitu da’i, mad’u, metode, materi, media dan tujuan dakwah. Sedangkan obyek forma ilmu dakwah adalah sudut pandang tertentu yang dikaji dalam disisplin utama ilmu dakwah, yaitu disiplin tabligh.
Namun, Amrullah Achmad berpendapat lain, obyek material ilmu dakwah adalah semua aspek ajaran Islam (Al-Qur’an dan As-Sunnah), hasil ijtihad dan realisasinya dalam sistem pengetahuan, teknologi, sosial, hukum dan lainnya, khususnya kelembagaan Islam. Sedangkan obyek formanya adalah kegiatan mengajak ummat manusia supaya kembali kepada fitrahnya sebagai muslim dalam seluruh aspek kehidupannya. Dan obyek forma itulah yang membedakan ilmu dakwah dengan ilmu keislaman lainnya.


2. Karakteristik Manusia
Manusia adalah sesuatu yang nyata ada, oleh karena itu tentu dapat dipahami adanya eksistensi manusiawi di samping sisi organik dari segi materialnya. Menurut The Liang Gie terdapat empat unsur yang terkandung dalam eksistensi manusiawi berdasarkan empat filosof yang sama pendapatnya. Keempat unsur tersebut adalah seni, kepercayaan, filsafat dan ilmu.
Keempat unsur itu saling berinteraksi. Interaksi antar unsur-unsur eksistensi manusiawi itu telah melahirkan cara berada manusia yang unik dan berbeda dibandingkan dengan keberadaan yang lain dari jenis makhluk yang ada. Namun, kompleksitas eksistensi manusia dan keterbatasan akal manusia merupakan faktor-faktor yang memustahilkan bagi manusia itu sendiri memperoleh pengetahuan secara tuntas tentang dirinya dari dalam dirinya. Dalam persoalan ini, menurut Quraish Shihab, dibutuhkan informasi dari Sang Maha Pencipta melalui wahyu yang diturunkan kepada utusan-Nya, seperti Al-Qur’an. Dari Al-Qur’an, sesuai maksud penurunannya sebagai memberi petunjuk, informasi yang diberikan bersifat normatif. Al-Qur’an secara seimbang menggambarkan manusia dari dua sisinya yang positif dan negatif .
Dalam penggambaran itu, Al-Qur’an tentu saja secara normatif mendorong manusia untuk bergerak pada sisi positif dan menjauhi serta menghindari sisi negatif, yang dengan hal itu manusia akan berada pada suatu alam yang hidup, bermakna, serba tak terbatas, yang dimensinya keluar melampaui dimensi material.

         3. Interaksi Tuhan, Manusia dan Alam
Menurut Al-Qur’an, keberadaan alam semesta diciptakan oleh Tuhan seperti dapat dipahami dari ayat berikut:
Tidakkah kamu perhatikan bagaimana Allah telah menciptakan tujuh langit bertingkat-tingkat?” (Q.S. 71:51).
Dan dalam kaitannya, Allah selalu menetapkan ketentuan-ketentuan bagi setiap ciptaan-Nya, sesuai dengan ayat berikut:
Dan Kami telah menghamparkan bumi dan menjadikan padanya gunung-gunung dan Kami tumbuhkan padanya segala sesuatu menurut ukuran”. (Q.S. 15:19)
Ketentuan-ketentuan Allah untuk setiap ciptaan-Nya itu dikenal dengan Sunnatullah, yaitu suatu konsep yang dikembangkan aliran teologi Mu’tazilah ketika menjelaskan kekuasaan Tuhan yang dibatasi oleh kebebasan manusia. Menurut Mu’tazilah, alam berjalan secara teratur didasarkan pada hukum alam yang diciptakan Tuhan. Pendapat itu berlainan dengan pemikiran yang dikembangkan aliran Asy’ariyah yang dalam melihat keteraturan alam menekankan pada kehendak Tuhan. Bahwasanya, Tuhan hadir secara terus-menerus dan aktif dalam segala sesuatu. Jika tanpa kehadiran-Nya, maka dunia akan dilanda ketidakteraturan. Dengan demikian, dalam khazanah pemikiran Islam, sedikitnya dikenal dua pendapat mengenai persoalan cara Tuhan “berinteraksi” dengan alam semesta atau khususnya manusia. Pertama pemikiran Mu’tazilah yang menekankan transendensi Tuhan dalam kaitannya dengan alam semesta dan Asy’ariyah yang menekankan fungsi immanent Tuhan dalam alam semesta.
Manusia diberi kesadaran moral untuk menentukan pilihan antara yang baik dan yang buruk sesuai dengan fitrah manusia. Namun, sifat-sifat neagatif atau kecenderungan untuk berperilaku negatif itu sering pula masih mempengaruhi cara manusia berbakti kepada tuhan. Manusia cenderung melakukan ketundukan kepada Tuhan secara sungguh-sungguh ketika tertimpa musibah dan sebaliknya ketika manusia mendapat kenikmatan atau anugerah, mereka cenderung melupakan Tuhan.
Manusia dalam menjalani hidupnya di dunia selalu bergulat dengan dua kecenderungan positif dan negatif itu. Apabila ia bias mengatasi konflik yang ditimbulkan oleh tarikan kedua kecenderungan yang berlawanan itu dan kembali pada sifat-sifat dasar fitrahnya maka dialah da’i. Sebaliknya, jika ia tidak dapat mengatasi konflik itu, dalam arti jatuh ke dalam kecenderungan negatif dan tidak dapat mengaktualkan sifat-sifat dasar fitrahnya, maka dialah mad’u. Keberadaan manusia dengan segala potensi yang dimilkinya, telah dipilih oleh Tuhan untuk mengelola alam semesta. Manusia merupakan pusat interaksi alam semesta di muka bumi. Ia adalah makhluk yang mulia dan dimulyakan Tuhan.
Dan manusia muslim di hadapan manusia pada umumnya diangkat sebagai saksi yang harus menjaga interaksi positif kepada Tuhan, sesamanya dan alam semesta. Dalam mengatur interaksi itu, Al-Qur’an menggariskan aturan-aturan normatifnya antara lain dalam symbol perdagangan. Dengan merujuk pada term-term yang lazim dipakai dalam dunia perdagangan, bagaimana Al-Qur’an memberikan petunjuk kepada manusia dalam berinteraksi dengan Tuhan sebagai pencipta dan penguasa alam semesta, dapat diketemukan.

         4. Pengertian Islam
Secara harfiah, Islam bentuk lain dari terma aslama merujuk pada sebuah ayat dari surat ke-2:112 yang berarti “menyerahkan diri/jiwa kepada..”. Atau juga berarti “mentaati dengan tulus hati/mengikhlaskan kepada kebenaran” pada surat 72:14. Terma Islam seakar dengan dengan terma salima yang artinya “selamat dari…” dan salam yang berarti “sejahtera, kesejahteraan, tempat sejahtera”. Huruf-huruf dasar terma Islam adalah sin-lam-mim, artinya “aman”, “keseluruhan” dan “menyeluruh”. Terma silm berarti “perdamaian”. Sedangkan terma salam berarti “penuh/keseluruhan ” atau “perdamaian” juga tercantum dalam surat 39:29 dan 4:91.
Dengan memperhatikan beberapa maknanya itu, maka dapat dikemukakan bahwa, Islam menuntut penyerahan diri kepada Tuhan. Dengan itu, seseorang akan mampu mengembangkan seluruh kepribadiannya secara menyeluruh dan oleh karenanya, ia akan dapat meraih keselamatan, kesejahteraan dan kedamaian.
Pemakaian term Islam untuk nama sebuah agama, menuntut adanya aturan-aturan formal sebagai predikat sehingga dapat diidentifikasi perilaku tertentu mana dan sikap jiwa tertentu mana yang mencerminkan aktualisasi agama Islam dan bukan merupakan pencerminan darinya.
Sebelum menjadi nama untuk keyakinan dan ajaran yang dibawa Nabi Muhammad saw, Islam diyakini oleh ummat Islam sebagai keyakinan dan ajaran yang dibawa oleh Nabi Ibrahim as. Nabi Muhammad diyakini tidak membawa ajaran agama baru, karena pada dasarnya agama Islam yang dibawanya adalah juga ajaran yang diwahyukan Tuhan kepada Nabi Ibrahim dan bahkan juga Nabi dan Rasul sebelumnya.
Berpijak pada uraian di atas, kita dapat memahami analisis bahwa Islam terbagi dua: yaitu Islam predikatif dan Islam essensial. Keduanya secara analisis dapat dibedakan tetapi secara faktual keduanya tak terpisahkan. Kesemestaan Islam tidak hanya terletak pada “predikatnya”, melainkan juga “essensialnya”. Esensi inilah yang mengangkat Islam dalam suatu “sistem nilai”, yang memberi nafas pada budaya dan peradaban manusia. Secara predikatif, senua bentuk aturan dan norma tidak dibenarkan, kecuali yang telah digariskan dalam sumber pokok ajaran Islam. Jadi, Islam predikatif adalah “sebutan agama Islam”. Sedangkan Islam essensial adalah Islam intisari. Orang yang menegakkan Islam predikatif seharusnya juga ber-Islam essensial karena keduanya terpisahkan hanya pada tingkat analisis sedang dalam kenyataannya, secara faktual adalah menyatu dalam satu penghayatan dan pengamalan.
Jika diklasifikasikan, Islam dipahami dalam dua kecenderungan yang berbeda. Ummat Islam cenderung mengkaji Islam dalam pengertiannya yang ideal, Islam konsep, atau Islam interpretasi. Sementara kalangan lain yang kebetulan bukan pengikut Nabi Muhammad saw cenderung mengkaji Islam sebagaimana tampil dalam kenyataan hidup manusia, seperti Islam historis

         5. Nubuwwah dan Risalah
Nubuwwah dan risalah adalah konsep sebagai hasil pemikiran yang berusaha memahami kemungkinan (ketakmustahilan) adanya kontak antara yang supranatural dan natural. Dalam konteks pembahasan ini, kontak antara supranatural dan natural menunjuk pada kemungkinan dan ketakmustahilan adanya petunjuk Tuhan yang diturunkan kepada manusia, yaitu agama.
Adapun tantangan yang dihadapi manusia adalah faktor pendorong manusia memerlukan agama, baik tantangan dari dalam maupun dari luar. Tantangan manusia dari dalam misalnya pada situasi konflik yang ditimbulkan oleh tarik menarik antara sifat-sifat positif dan negatif yang selalu terjadi pada diri manusia dan dorongan hawa nafsu dan bisikan setan dari dalam diri manusia, seperti dapat dipahami pada ayat berikut:
Dan Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan), karena sesungguhnya nafsu itu selalu menyeluruh kepada kejahatan, kecuali nafsu yang diberi rahmat oleh Tuhanku. Sesungguhnya Tuhanku Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. 12:53).
Tantangan dari luar misalnya berupa tipu daya orang kafir atau rekayasa negatif yang dilakukan oleh orang yang tidak menempatkan diri sebagai khalifah Allah sebagaimana tercantum dalam ayat berikut:
Orang-orang kafir itu membuat tipu daya. Dan Allah membalas tipu daya mereka itu. Dan Allah sebaik-baik pembalas tipu daya.” (Q.S. 3:54).
Dengan uraian di atas, maka mudah untuk mengatakan bahwa manusia secara eksistensial memerlukan agama. Agama mengemas siapa saja yang berkomunikasi dengan Tuhan, dalam Al-Qur’an disebutkan bukan hanya Nabi Muhammad. Komunikasi itu juga bisa terjadi dengan manusia pada umumnya dan makhluk lainnya. Allah berkomunikasi dengan lebah untuk mencari rumah sendiri,
Dan Tuhanmu mengilhamkan kepada lebah: “Buatlah sarang-sarang di bukit-bukit, di pohon-pohon kayu, dan di tempat yang dibikin manusia.” (Q.S. 16:68)
Dengan demikian ada nash dari Al-Qur’an, ketika dikembangkan pemikiran bahwa antara manusia dan Tuhan dapat saja terjadi kontak. Hal itu disebut sebagai nubuwwah jika kontak itu terjadi antara Tuhan dan Nabi atau Rasul dan diistilahkan dengan kewalian jika kotak itu antara Tuhan dan manusia pada umumnya yang telah mencapai tingkat spiritual tertentu.
Dan dengan kekuasaan yang diberikan Tuhan kepada Nabi dan Rasul untuk mendakwahkan ajaran Tuhan, maka ummat manusia mempunyai pegangan yang kokoh ajaran mana yang dapat dijadikan pedoman. Kebutuhan manusia kepada kehadiran Nabi dan Rasul relatif sejajar kebutuhannya dengan dakwah. Karena, bagaimanapun sempurna dan cerdasnya akal manusia, ia dapat saja dipengaruhi oleh kecenderungan sifat-sifat negatif yang ada padanya. Hal yang negatif itu dapat dihindarkan aktualisasinya dalam bentuk-bentuknya yang negatif, yang merugikan dan mencelakakan manusia yang berislam.

Related Post

Share |

2 komentar:

Raja ampat said...

berkunjung nih,,,,terimakasih sdh berkomentar di blog saya teman,,,,

Zanck said...

ok,, sama2..

Post a Comment

Photobucket Photobucket Photobucket
 
 

About Me

My photo
Bismillah. perkenalkan saya Zanck. saya masih seorang Pelajar yang sampai saat ini masih terus berusaha tuk menuntut ilmu yang bermanfaat. Mau tahu saya lebih banyak,,,? Click this Out..