Pijakan Jejak..

Sunday, November 14, 2010

Home » , , » Qira'at Al-Qur'an 2
Comment

Qira'at Al-Qur'an

Pengertian Qira’ah
          Dari segi bahasa, kata qira’ah berarti bacaan, masdar dari qara’a. Dari sisi istilah, az-Zarqani memberikan pengertian sebagai berikut:
“suatu madzhab yang dianut oleh seorang imam qiraat yang berbeda dengan yang lainnyadalam pengucapan Al-Qur’an al-Karim serta sepakat riwayat-riwayat dan jalur-jalur daripadanya, baik perbedaan ini dalam pengucapan huruf-huruf maupun dalam pengucapan keadaan-keadaannya.”


          Definisi ini mengandung tiga unsur pokok. Pertama, qira’ah dimaksudkan menyangkut bacaan ayat-ayat Al-Qur’an. Cara membaca Al-Qur’an  berbeda dari satu imam dengan imam qira’ah lainnya. Kedua, cara bacaan yang dianut dalam suatu madzhab qira’ah didasarkan atas riwayat dan bukan atas qiyas atau ijtihad. Ketiga, perbedaan antara qira’ah-qira’ah bisa terjad dalam pengucapan huruf-huruf dan pengucapannya dalam berbagai keadaan.


          Sementara az-Zarkasyi mengemukakan bahwa perbedaan qira’ah  itu meliputi prbedaan lafal-lafal tasyid dan lainnya. Qira’ah harus melalui talaqqi dan musyafahah, karena dalam qira’ah banyak hal yang tidak bisa dibaca kecuali dengan mendengar langsung dari seorang guru dan bertatap muka.


          Manna’ al-Qaththan menyatakan bahwa qira’ah adalah salah satu madzhab pengucapan Al-Qur’an yang dipilih oleh salah seorang imam qurra’ sebagai suatu madzhab yang berbeda dengan madzhab yang lainnya.


          Disamping itu, Ibnu al-Jazari berpendapat bahwa qira’ah adalah pengetahuan tentang cara-cara melafalkan kalimat-kalimat Al-Qur’an dan perbedaannya dengan membangsakannya kepada penukilnya.
          Menurut dia, al-Muqri’ adalah seseorang yang mengetahui qira’ah-qira’ah dan meriwayatkannya kepada orang lain secara lisan. Sekiranya ia hafal kitab Al-Taisir (kitab qira’ah) misalnya, ia belum dapat meriwayatkan (yuqri’) isinya selama orang yang menerimanya dari gurunya secara lisan tidak menyampaikan kepadanya secara lisan pula dengan periwayatan yang bersambung-sambung (musalsal). Sebab, dalam masalah qira’ah banyak hal yang tidak dapat ditetapkan kecual melalui pendengaran dan penyampaian secara lisan.
           Dari beberapa definisi yang telah dipaparkan oleh para pakar mengenai pengertian qira’ah. Maka, penulis dapat mengangkat sebuah persamaan makna, bahwa qira’ah adalah cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda. Sedangkan perbedaannya, membahas seputar perbedaan yang terdapat pada Imam-Imam Qurra’.
           Jadi, Qira’ah itu merupakan sebuah cara membaca Al-Qur’an yang berbeda-beda antara satu Imam dengan yang lainnya.


Sejarah Perkembangan Qira’ah
          Para sahabat mempelajari cara pengucapan Al-Quran langsung dari Rasulullah SAW, bahkan beberapa dari 'secara resmi' direkomendasikan oleh Rasulullah SAW sebagai rujukan sahabat lainnya dalam pengucapan Al-Quran.
Dari Abdullah bin Amr bin Ash, Rasulullah SAW bersabda : "Ambillah (belajarlah) Al-Quran dari empat orang : Abdullah bin Mas'ud, Salim, Muadz, dan Ubai bin Ka'b" (H.R. Bukhori)
Rasulullah SAW juga bersabda : "Barang siapa yang ingin membaca Al-Quran benar-benar sebagaimana ia diturunkan, maka hendaklah membacanya seperti bacaan Ibnu Ummi ‘Abd"  (Abdullah bin Mas'ud).
            Diantara sahabat yang populer dengan bacaannya adalah: Utsman bin Affan, Ali bin Abi Thalib, Ubay bin Ka'b, Zaid bin Tsabit, Abu Darda, Ibnu Mas'ud, dan Abu Musa al-Asy'ary. Dari mereka inilah kebanyakan para sahabat dan tabi'in di seluruh daerah belajar. Kemudian para tabi'in tersebut menyebar di kota-kota besar pemerintahan Islam, diantaranya adalah:
Madinah    : Ibnu Musayyib, urwah Salim, dan Umar bin Abdul Aziz
Mekah        : Ubaid bin Umair, Atho' bin Abi Robah, Thowus, Mujahid, Ikrimah
Kuffah        : Ilqimah, al-Aswad, Masruq, Ubaidah, dll
Bashrah    : Abu Aliyah, Abu Roja', Qotadah, ibnu Siirin
Syam        : al-Mughiroh, Shohib Utsman, dll
            Kemudian pada masa tabi'in awal abad Hijriyah, beberapa kelompok mulai sungguh-sungguh menata tata baca dan pengucapan al-Quran hingga menjadi ilmu tersendiri sebagaimana ilmu-ilmu syariah lainnya. Kemudian muncul pula madrasah-madrasah qira'ah yang mempelajari ilmu tersebut, yang akhirnya memunculkan keberadaan para qurro', yang hingga hari ini qira’ah Qur'an banyak disandarkan kepada mereka, khususnya imam qurro’ yang tujuh.
            Berpijak pada pemaparan tentang sejarah perkembangan qira’ah di atas, maka, dapat kita pahami bahwa awal mula berkembangnya Ilmu Qira’ah, berasal dari para sahabat yang menerima langsung ilmunya dari Nabi. Lalu, para tabi’in pun mengikuti sampai akhirnya menyebarluaskannya pula ke berbagai daerah kekuasaan islam dan mengembangkannya.


Macam-Macam Qira’ah
  • Dari Segi Kuantitas
            Madzhab qira’ah yang masyhur adalah Qira’ah Sab’ah, Qira’ah ‘Asyrah dan Qira’ah Arba’a ‘Asyrah. Perbedaan ini  disebabkan oleh perbedaan kapasitas intelektual dan kesempatan masing-masing sahabat dalam mengetahui cara membaca Al-Qur’an. Hal ini juga berkaitan dengan tulisan Al-Qur’an dalam mushaf Utsmani yang belum diberi baris atau tanda baca apapun, sehingga bacaan Al-Qur’an dapat berbeda dari susunan huruf-hurufnya, terutama pada saat wilayah Islam semakin meluas dan para sahabat yang mengajarkan Al-Qur’an menyebar ke berbagai daerah, Sehingga ada sebagian riwayatnya pun sudah tidak dapat lagi dipertanggungjawabkan.
           Adapun qira’ah sab’ah adalah qira’ah yang dibangsakan kepada tujuh orang imam qira’ah yang masyhur, yaitu:
  • Ibnu 'Amir (118 H)
Nama lengkapnya adalah Abdullah al-Yahshshuby seorang qadhi di Damaskus pada masa pemerintahan Walid ibnu Abdul Malik. Pannggilannya adalah Abu Imran. Dia adalah seorang tabi'in, belajar qira'ah dari Al-Mughirah ibnu Abi Syihab al-Mahzumy dari Utsman bin Affan dari Rasulullah SAW. Beliau Wafat di Damaskus pada tahun 118 H.
  • Ibnu Katsir (120 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Muhammad Abdullah Ibnu Katsir ad-Dary al-Makky, ia adalah imam dalam hal qira'ah di Makkah, ia adalah seorang tabi'in yang pernah hidup bersama shahabat Abdullah ibnu Jubair. Abu Ayyub al-Anshari dan Anas ibnu Malik, dia wafat di Makkah pada tahun 120 H. Perawinya dan penerusnya adalah al-Bazy wafat pada tahun 250 H. dan Qunbul wafat pada tahun 291 H.
  • 'Ashim al-Kufy (128 H)
Nama lengkapnya adalam 'Ashim ibnu Abi an-Nujud al-Asady. Disebut juga dengan Ibnu Bahdalah. Panggilannya adalah Abu Bakar, ia adalah seorang tabi'in yang wafat pada sekitar tahun 127-128 H di Kufah. Kedua Perawinya adalah; Syu'bah wafat pada tahun 193 H dan Hafsah wafat pada tahun 180 H.
  • Abu Amr (154 H)
Nama lengkapnya adalah Abu 'Amr Zabban ibnul 'Ala' ibnu Ammar al-Bashry, sorang guru besar pada rawi. Disebut juga sebagai namanya dengan Yahya, menurut sebagian orang nama Abu Amr itu nama panggilannya. Beliau wafat di Kuffah pada tahun 154 H. Kedua perawinya adalah ad-Dury wafat pada tahun 246 H. dan as-Susy wafat pada tahun 261 H.
  • Hamzah al-Kufy (156 H)
Nama lengkapnya adalah Hamzah Ibnu Habib Ibnu 'Imarah az-Zayyat al-Fardhi ath- Thaimy seorang bekas hamba 'Ikrimah ibnu Rabi' at-Taimy, dipanggil dengan Ibnu 'Imarah, wafat di Hawan pada masa Khalifah Abu Ja'far al-Mansyur tahun 156 H. Kedua perawinya adalah Khalaf wafat tahun 229 H. Dan Khallad wafat tahun 220 H. dengan perantara Salim.
  • Imam Nafi (169 H)
Nama lengkapnya adalah Abu Ruwaim Nafi' ibnu Abdurrahman ibnu Abi Na'im al-Laitsy, asalnya dari Isfahan. Dengan kemangkatan Nafi' berakhirlah kepemimpinan para qari di Madinah al-Munawwarah. Beliau wafat pada tahun 169 H. Perawinya adalah Qalun wafat pada tahun _ H, dan Warasy wafat pada tahun 197 H.
  • Al-Kisaiy (189 H)
Nama lengkapnya adalah Ali Ibnu Hamzah, seorang imam nahwu golongan Kufah. Dipanggil dengan nama Abul Hasan, menurut sebagian orang disebut dengan nama Kisaiy,  karena memakai kisa pada waktu ihram. Beliau wafat di Ranbawiyyah yaitu sebuah desa di Negeri Roy ketika ia dalam perjalanan ke Khurasan bersama ar-Rasyid pada tahun 189 H Perawinya adalah Abul Harits wafat pada tahun 424 H, dan ad-Dury wafat tahun 246 H. Syathiby mengatakan: "Adapun Ali panggilannya Kisaiy, karena kisa pakaian ihramnya, Laits Abul Haris perawinya, Hafsah ad-Dury hilang tuturnya.
             Dan qira’ah ‘asyrah adalah qira’ah yang tujuh di atas ditambah dengan Abu Ja’far (130 H), Ya’qub al-Hadhrami (205 H) dan Khalaf Ibn Hisyam al-Bazzar (229 H). Sedangkan qira’ah arba’a ‘asyrah adalah qira’ah yang sepuluh ditambah dengan Ibnu Muhaishin (123H), al-Yazidi (202 H), al-Hasan al-Bashri (110 H), dan al-A’masy (148 H).
  • Dari Segi Kualitas
-Mutawatir, yaitu qira’ah yang dinukil oleh sejumlah besar periwayat yang tidak mungkin bersepakat untuk berdusta, dari sejumlah orang yang seperti itu dan sanadnya bersambung hingga penghabisannya, yakni Rasulullah Saw. Juga sesuai dengan kaidah bahasa arab dan Rasam Utsmani.
-Masyhur, yaitu qira’ah yang sahih sanadnya tetapi tidak mencapai derajat mutawatir, sesuai dengan kaidah bahasa arab dan Rasam Utsmani serta terkenal pula di kalangan para ahli qira’ah sehingga tidak dikategorikan qiraat yang salah atau syadz. Qira’ah macam ini dapat digunakan.
-Ahad, yaitu qira’ah yang sahih sanadnya tetapi menyalahi Rasam Utsmani, menyalahi kaidah bahasa Arab, atau tidak terkenal. Qiraah macam ini tidak dapat diamalkan bacaanya.
-Syadz, yaitu qira’ah yang tidak sahih sanadnya.
-Maudlu’, yaitu qira’ah yang tidak ada asalnya.
-Mudraj, yaitu yang ditambahkan ke dalam qira’ah sebagai penafsiran (penafsiran yang disisipkan ke dalam ayat quran).


         Berbagai macam qira’ah yang telah dijelaskan di atas, memberikan gambaran kepada kita dalam memahami keshahihan tentang cara membaca Al-Qur’an yang benar. Sehingga, ketika kita membaca Al-Qur’an, sesuai dengan kaidah-kaidah yang telah ditetapkan.

Related Post

Share |

2 komentar:

Fajri Alhadi said...

info yang sangat baik sob..
mari mampir di blog saya ya :D

http://4-jie.blogspot.com

Zanck said...

thankss,,

Post a Comment

Photobucket Photobucket Photobucket
 
 

About Me

My photo
Bismillah. perkenalkan saya Zanck. saya masih seorang Pelajar yang sampai saat ini masih terus berusaha tuk menuntut ilmu yang bermanfaat. Mau tahu saya lebih banyak,,,? Click this Out..