Dalam pembahasan mengenai teori pengetahuan, rasionalisme menempati tempat yang penting. Biasanya paham ini dikaitkan dengan kaum rasionalis abad ke-17 dan ke-18, yaitu Rene Descartes, Spinoza, Leibniz, dan Wolff, yang sebenarnya akar-akarnya dari Plato, Aristoteles, dll. Paham ini beranggapan ada prinsip-prinsip dasar dunia tertentu yang diakui benar oleh rasio manusia.
Menurut Descartes prinsip-prinsip itu dikenalkan dengan istilah substansi yang tak lain adalah ide bawaan yang sudah ada dalam jiwa sebagai kebenaran yang clear and distinct, tidak bisa diragukan lagi. Ada tiga ide bawaan yang diajarkan Descartes, yaitu: Pemikiran, Tuhan sebagai wujud yang sama sekali sempurna, dan Keluasan.
Seperti halnya Descartes, Spinoza juga menetapkan prinsip dasar yang pasti dan menganggap bahwa setiap langkah dari pencarian kepastian itu merupakan satu-satunya jaminan bagi pengetahuan. Namun, berbeda dengan Descartes, Spinoza mengakui hanya ada satu substansi. Meski ia tidak menyebut bahwa substansi itu sebagai Tuhan, tetapi ia mengakui substansi bersifat ilahi.
Adapun rasionalisme menganggap sumber pengetahuan manusia itu adalah rasio. Rasio itua ada pada subjek. Maka asal pengetahuan harus dicari pada subjek. Rasio itu berpikir. Berpikir inilah ynag membentuk pengetahuan. Karena hanya manusia yang berpikir, maka hanya manusia yang berpengetahuan. Pengetahuan inilah manusia berbuat dan menentukan tindakannya. Berbeda pengetahuan, berbeda pula laku perbuatan dan tindakannya.
B. Empirisme
Bertentangan dengan rasionalisme yang memberikan kedudukan kepada rasio sebagai sumber pengetahuan, empirisme memilih pengalaman sebagai sumber utama pengenalan, baik pengalaman lahiriyah maupun pengalaman bathiniyah.
Secara harfiah, istilah empirisme berasal dari kata Yunani emperia yang berarti pengalaman. Aliran ini muncul di Inggris, yang pada awalnya dipelopori oleh Francis Bacon (1561-1626), kemudian dilanjutkan oleh tokoh-tokoh pasca Descartes, seperti Thomas Hobbes (1588-1679), John Locke (1632-1704), Berkeley (1685-1753), dan yang terpenting adalah David Hume (1711-1776).
Thomas Hobbes menganggap bahwa pengalaman inderawi sebagai permulaan segala pengenalan.
John Locke mengagumi metode Descartes, tetapi ia tidak menyetujui isi ajarannya. Menurut Locke, rasio mula-mula harus dianggap “as a white paper” dan seluruh isinya berasal dari pengalaman. Ada dua pengalaman, yaitu: lahiriyah (sensation) dan bathiniyah (reflexion). Kedua sumber pengalaman inipun menghasilkan ide-ide tunggal (simple ideas).
Berdasarkan prinsip-prinsip empirisme, Berkeley merancang teori yang dinamakan “immaterialisme.” Berbeda dengan Locke yang masih menerima adanya substansi di luar kita, bagi Berkeley yanga ada hanyalah pengalaman dalam roh saja (ideas). “Esse est perceipi” (being is being perceived), demikian ungkapan Berkeley yang sangat terkenal. Ini artinya dunia materil sama saja dengan ide-ide yang saya alami.
Aliran empirisme memuncak pada David Hume. Ia menerapkan prinsip empirisme secara radikal dan konsisten. Dan ia menekuni bidang filsafat. Filsafat Hume pada garis besarnya merupakan reaksi atas tiga hal: (a) Melawan rasionalisme terutama berkaitan dengan ajaran tentang innate ideas yang dipakai sebagai landasan kaum rasionalis dalam usahanya memahami realitas. (b) reaksi dalam masalah religi yang mengajarkan adanya aksioma universal seperti hokum kausalitas yang dapat menjamin pemahaman manusia akan Tuhan dan alam. (c) Melawan empirisme Locke dan Berkeley yang masih percaya pada adanya substansi, meski dalam beberapa aspek ia menyetujuinya.
Berikut ini akan dilihat pemikran Hume sehubungan dengan reaksinya terhadap konsep substansi dan kausalitas.
Substansi vs Relasi
Seperti halnya kaum empiris yang lain, David Hume berpendapat bahwa seluruh isi pemikiran berasal dari pengalaman, yang ia sebut dengan istilah “persepsi”. Menurut Hume persepsi itu terdiri dari dua macam (tingkatan), yaitu kesan-kesan (impressions) dan gagasan (ideas).
Pengalaman memberikan kepada kita hanya suatu kualitas khusus bukan suatu substratum yang unik. Filsuf seharusnya berusaha menunjukan bahwa obyek-obyek harus dibedakan dari persepsi kita terhadapnya. Hasil persepsi mengenai kualitas individual pada saat yang sama tidak dapat memberikan pemahaman terhadap obyek-obyek eksternal. Apa yang mampu kita pahami hanya terbatas hasil persepsi. Aktivitas pikiran manusia tidak lebih dari hanya melakukan sintesis kualitas particular. Hume lebih lanjut menegaskan bahwa imajinasi bertugas memberikan kesatuan atas kualitas particular itu, tetapi kesatuan dalam arti yang artificial, kesatuan yang murni fiksional. Hume akhirnya berkesimpulan bahwa ide tentang substansi adalah ide kosong.
Kausalitas vs Induksi
Menurut Hume, manusia cenderung menerima konsep kausalitas yang sebenarnya hanya karena suatu “kebiasaan berpikir”, yaitu karena dipengaruhi oleh bermacam-macam pengamatan yang telah dilakukannya, lalu mau tidak mau bergerak dari kesan tentang satu kejadian pada pikiran tentang apa yang biasanya mengikuti kejadian itu. Dari pengalaman “penggabungan” itulah timbul gagasan “hubungan yang mutlak” itu, yang kemudian disebut dengan hukum kausalitas.
Pengalaman “penggabungan” itu tidak lain adalah problema induksi, bukan hukum mutlak yang apriori, bukan innate ideas yang clear and distinct. Karena hubungan dari berbagai hal yang suatu saat dapat terpisah itu bersifat sementara, maka tidak mungkin dapat diadakan suatu keharusan inferensi.
Demikianlah argument empirisme dan terutama David Hume dalam menolak konsep rasionalisme tentang adanya prinsip dasar yang apriori. Sebaliknya mereka hanya percaya pada pengalaman, baik oleh inderawi lahiriyah maupun bathiniyah.
C. Kritisisme: Kontribusi Immanuel Kant
Immanuel Kant adalah filsuf yang hidup pada puncak perkembangan “pencerahan”, yaitu suatu masa di mana corak pemikiran yang menekankan kedalaman unsur rasionalitas berkembang dengan pesatnya. Setelah hilang pada masa abad pertengahan unsur rasionalitas itu seakan ditemukan kembali pada masa renaissance (abad ke-15), dan kemudian mencapai puncaknya pada masa pencerahan (abad ke-18) ini. Pada masa itu lahir berbagai temuan dan paradigma baru di bidang ilmu., dan terutama paradigma ilmu ‘fisika’ alam. Heliosentris temuan Nicolaus Copernicus (1473-1543) di bidang ilmu astronomi yang meruntuhkan paradigma geosentris, mengharuskan manusia mereinterpretasi pandangan dunianya, tidak hanya pandangan dunia ilmu tetapi juga keagamaan.
Selanjutnya ciri kedua adalah apa yang dikenal dengan deisme, yaitu suatu ajaran yang mengakui adanya yang menciptakan alam semesta ini. Akan tetapi setelah dunia diciptakan, Tuhan menyerahkan dunia kepada nasibnya sendiri. Sebab ia telah memasukkan hukum-hukum dunia itu ke dalamnya. Segala sesuatu berjalan dengan hukumnya.
Sebagai filsuf yang hidup pada puncak perkembangan pencerahan Jerman, Kant gelisah dengan kemajuan yang dicapai manusia. Bagaimana manusia bisa menemukan hukum alam, apa hakikat di balik hukum alam (metafisika) itu. Benarkah itu Tuhan? Bagaimana manusia mempercayai Tuhan? Inilah beberapa kegelisahannya.
D. Intuisionisme
Aliran ini dipelopori oleh Henry Bergson (1859-1941). Menurutnya, intuisi merupakan suatu sarana untuk mengetahui secara langsung dan seketika. Unsur utama bagi pengetahuan adalah kemungkinan adanya suatu bentuk penghayatan langsung (intuisif), disamping pengalaman oleh indera. Setidaknya dalam beberapa hal, intuisionisme tidak mengingkari nilai pengalaman inderawi, kendati diakui bahwa pengetahuan yang sempurna adalah yang diperoleh melalui intuisi.
Secara epistemologis, pengetahuan intuitif berasal dari intuisi yang diperoleh melalui pengamatan langsung, tidak mengenai obyek lahir melainkan mengenai kebenaran dan hakikat sesuatu obyek. Dalam tradisi islam, para sufi menyebut pengetahuan ini sebagai rasa yang mendalam (zauq) yang berkaitan dengan persepsi bathin.
Lebih lanjut Bergson menyatakan bahwa intuisi sebenarnya adalah naluri (instinct) yang menjadi kesadaran diri sendiri dan dapat menuntun kita kepada kehidupan dalam (bathin). Jika intuisi dapat meluas maka ia dapat member petunjuk dalam hal-hal yang vital.
Douglas V. Steere dalam Mysticism, mengatakan bahwa pengetahuan intusisi yang ditemukan orang dalam penjabaran-penjabaran mistik memungkinkan kita untuk mendapatkan pengetahuan yang langsung dan mengatasi pengetahuan yang kita peroleh dengan akal dan indera. Intuisi dalam mistik bahkan memiliki implikasi yang lebih jauh sebab mungkin dijelmakan menjdai persatuan aku dan Tuhan pribadi (al-ittihad) atau kesadaran kosmis (wahdah al-wujud).
Menurut William James, mistisisme merupakan suatu kondisi pemahaman (noetic). Sebab bagi para penganutnya mistisisme merupakan suatu kondisi pemahaman dan pengetahuan, di mana dalam kondisi tersebut tersingkaplah hakikat realitas yang baginya merupakan ilham yang bersufat intuitif dan bukan merupakan pengetahuan demonstratis. Sejalan dengan James, Bertrand Russell setelah menganalisa kondisi-kondisi mistisisme kemudian berkesimpulan bahwa di antara yang membedakan antara mistisisme dengan filsafat-filsafat yang lain adalah adanya keyakinan atas intuisi (intuition) dan pemahamam bathin (insight) sebagai metode pengetahuan, kebalikan dari pengetahuan rasional analitik.
Dari uraian sederhana ini dapat disimpulkan bahwa menurut intuisionisme, sumber pengetahuan adalah pengalaman pribadi, dan sarana satu-satunya adalah intuisi.
7 komentar:
Everything after Hume is just a pointless exercise in reconciling one dream with another.
ya, thanks,,
INSPIRATIONAL BLOG!
Tulisannya inspiratif kang ^^
salam kenal :)
good good good boy,,,
:a8
Keren kang buat namabah ilmu pengetahuan
:)) :)] ;)) ;;) :D ;) :p :(( :) :( :X =(( :-o :-/ :-* :| 8-} ~x( :-t b-( :-L x( =))
Post a Comment